"Sistem hukum tidak bisa desentralisasi, selama ini di Aceh hukum cambuk dianggap bukan pelanggaran HAM dan bukan penyiksaan, padahal yang menentukan harusnya badan HAM PBB, sesuai konvensi anti penyiksaan," ungkap Kepala Litbang Kontras, Papang Hidayat, Sabtu (25/6/2011).
Papang menjelaskan, dalam pasal 16 dari Konvensi Menentang Penyiksaan Badan HAM PBB, disebutkan bahwa ada suatu jenis pelanggaran HAM menyerupai penyiksaan, meski tidak memenuhi semua unsur. Secara eksplisit, lanjutnya, pasal ini melarang keras praktik penghukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
"Hukuman cambuk adalah bagian dari penyiksaan, tidak bisa dipertahankan hanya karena penafsiran tertentu," ungkapnya. Hukuman cambuk di Aceh sendiri kerap diberikan kepada pelaku perbuatan mesum, perjudian, dan minuman keras.
Dikatakan Papang, Kontras mencatat 61 kasus praktik hukuman cambuk masih diterapkan di Aceh. Di akhir 2009, Kontras bahkan menemukan fakta bahwa di Aceh, atas dasar pembenaran oleh parlemen lokal DPR Aceh, telah disahkan suatu qanun jinayat (peraturan lokal terkait pidana) yang memasukkan hukuman rajam bagi tindakan zina oleh pasangan yg sudah menikah di aceh.
"Kami harap dalam pemilu lokal di Aceh pemerintahan baru yang terbentuk dapat lebih ramah terhadap HAM," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar